Kamis, 27 November 2008

Pak Oemar : Catatan Tetangga Sebelah Pagar

OLEH BAMBANG HARYANTO


Harapan terselubung. Keseleo lidah atau slip of tongue, begitu sebuah teori dari bapak psikoanalisis terkenal dari Austria, Sigmund Freud (1856-1939). Ketika seseorang keseleo lidahnya dalam mengatakan sesuatu, menurut Freud, si orang tersebut sebenarnya ingin mengatakan apa yang membuat keseleo lidah tersebut.

Sayang, Freud sudah meninggal dunia. Ia juga bukan warga Kajen, kampung saya. Bila ia masih hidup dan ia tetangga saya, ia akan saya minta untuk menganalisis kata-kata saya yang terekam dalam kamera digital, Nikon Coolpix L-11. Kata-kata keseleo saya, yang justru nantinya membanggakan saya.

Saat itu hari Selasa pagi, 19 Agustus 2008. Warga kampung saya, Kajen, sedang dibakar gairah dan hiruk-pikuk menyambut perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-63. Nanti malam akan ada pesta kesenian atau malam hiburan. Apakah Pak Oemar akan hadir malam itu ? Itulah pikiran yang berkelebat di benak saya.

Mengilas balik tahun lalu, 2007, acara puncak 17 Agustusan itu dihadiri Pak Oemar. Acaranya dilaksanakan di halaman rumah saya. Acara kendurian. Secara lesehan. Secara sederhana. Salah satu adegan dari acara itu dan mengesankan, adalah ketika sebelum memberikan sambutan, Ketua Rt 01/RW 11, Bapak H. Oemartopo, ingin menyanyikan lagu heroik, Halo-Halo Bandung.

Saya melakukan interupsi. Saya usulkan agar Pak Oemar dalam menyanyi disertai oleh anak-anak kecil Kampung Kajen. Beliau setuju. Semua hadirin setuju.

Anak-anak Kajen seumuran TK dan SD segera ramai-ramai menyerbu panggung. Berjajar bersama Pak Oemar. Dengan dirijen Pak Oemar, akhirnya seluruh hadirin menyanyikan lagu perjuangan itu. Menggetarkan. Membanggakan. Satu hal yang patut saya sesali, saat itu saya belum memiliki kamera untuk mengabadikannya.

Sebenarnya saya saat itu telah meminta bantuan adik saya, Betty Hermisnawaningsih, agar memotret momen heroik itu dengan kamera di HPnya. Ia memang memotretnya. Tetapi beberapa hari kemudian ketika saya tanyakan hasil fotonya, ia tidak memberikan jawaban positif. Jadi sampai saat ini saya tidak tahu apakah adegan acara 17 Agustus 2007 di Kajen itu terekam secara visual atau tidak. Mungkin saja fotonya kabur atau tidak jadi. Yang jelas : sebuah potongan sejarah kampung saya menjadi tidak ada arsip secara visualnya.

Yang pasti, didorong oleh rasa bangga dan mongkog atas acara itu, saya menyatakan kepada hadirin malam itu bahwa acara ini akan saya tayangkan di Internet. Saya tahu, Internet masih merupakan hal asing bagi sebagian besar warga kampung saya. Biarlah, arsip digital ini mungkin akan diakses oleh anak-anak Kajen generasi masa depan. Generasi melek teknologi yang akan datang.

Kebetulan saya dikaruniai keterampilan kecil satu ini, rasanya tak ada salahnya berbuat sebisa saya untuk kampung saya ini. Saya kemudian memutuskan untuk menuliskan catatan saya di blog terbaru saya (saat itu) di Internet. Yaitu blog Kajenku, Kampungku, Kebanggaanku. Adresnya di Internet : http://kajenku.blogspot.com.

Pada acara Agustusan 2008, saya tak mau kehilangan momen untuk mengabadikannya. Hari Selasa malam, 19 Agustus 2008, akan ada acara puncak itu. “Apa nanti malam Pak Oemartopo akan rawuh, hadir ? Apa juga memberikan sambutan seperti tahun lalu ?” Itu tanya saya kepada Mas Parno, aktivis kampung saya.

Saya mendapatkan jawaban, bahwa saat ini Pak Oemar sedang gerah. Kurang sehat. Akhirnya saya memutuskan untuk sowan ke rumah beliau. Gagasan yang muncul, siapa tahu rekaman video berisi pesan-pesan Pak Oemar di bulan keramat Agustus itu dapat diputar, diselipkan dalam acara malam nanti.

Keseleo lidah saya terjadilah di pagi itu. Di depan Pak Oemar. Dalam memulai rekaman video itu, saya tidak sadar telah menyebutkan bahwa tanggal hari itu sebagai “19 Agustus 2009.” Kesalahan fatal. Seharusnya “2008” tetapi yang keluar dari mulut saya “2009.” Saya tahu kesalahan itu ketika sudah pulang dari rumah Pak Oemar. Saya tak bisa menghapusnya. Atau melakukan rekaman ulang.

Aduh, keseleo lidah saya itu, seperti kata teori Freud tadi, mungkinkah sebenarnya merupakan harapan diam-diam saya ? Yang mengharapkan sekali agar Pak Oemar masih sugeng, segar bugar, hingga tahun 2009 ?


Kenal nama sejak 1967. Nama Bapak Oemartopo sudah saya kenal sejak tahun 1967. Empat puluhan tahun yang silam. Saat itu beliau tinggal di lingkungan SD Muhammadiyah, Kajen Kulon. Sebagai pendidik di SPG Wonogiri. Sementara saya tinggalnya di Kajen Wetan. Istri pertama beliau, Bu Nik, mengajar di Taman Kanak-Kanak di lingkungan yang sama. Hampir semua anak keluarga Kastanto Hendrowiharso, orang tua saya, menjadi murid Bu Nik dalam usia pendidikan taman kanak-kanaknya.

Saya terkadang main ke rumah beliau ini. Karena saat duduk di kelas 1B SMP Negeri I Wonogiri saat itu, saya memiliki teman bernama Tri Handoyo. Kalau tidak salah ia berasal dari Klaten, dan tinggal di rumah Bapak Oemartopo. Entah sebagai anak pupon atau sebagai saudara, saya tidak tahu pastinya. Ketika nama ini saya ungkapkan dalam obrolan 19 Agustus 2008, Pak Oemar sepertinya sudah tidak ingat nama Tri Handoyo ini.

Saya ingat, Tri ini anaknya kecil. Tampan. Baju kesayangannya warna hijau telur bebek, dari bahan sanforized. Bahan yang mahal dan elit saat itu.

Di lingkungan rumah Pak Oemar itu juga tumbuh pohon apel. Juga berdekatan dengan mushola dan sumur. Teman SMP saya dari Kajen Kulon, selain Tri Handoyo saat itu, adalah tetangga Pak Oemar. Namanya, Muhammad Hasim, putra Bapak Sutjipto. Hasim ini punya kakak, namanya saya lupa, yang terkenal merdu dan indah dalam beradzan. Agak ke selatan lagi, di rumah keluarga Bapak Sidin Wirotenoyo, tinggal teman SD-SMP saya juga, Sri Wahyono (almarhum).

Teman SMP lainnya dari Kajen Kulon adalah Mas Gembuk (Bambang Sadoyo), putra Pak Maryomo. Teman saya lainnya adalah Gimanclung, alias Hargiyanto. Seingat saya, Tri Handoyo tidak sampai tamat SMP saat ia tinggal di Wonogiri itu.


Karamba di televisi. Selepas SMP di tahun 1969, saya bersekolah di Yogyakarta, melanjutkan ke Solo dan lalu Jakarta Hal itu membuat saya terputus informasi mengenai kiprah Pak Oemar dalam jangka waktu yang sangat lama. Hampir 30 tahun. Karena saya baru mudik ke Wonogiri tahun 1998.

Saya tidak tahu kapan tepatnya Pak Oemar dan keluarga menempati rumah beliau kini, di Jl. Ahmad Dahlan, yang masuk dalam lingkungan RT 01/RW XI, Kajen, Giripurwo. Pekarangan rumah beliau “adu pantat samping” dengan rumah saya. Seingat saya, keluarga Bapak Soekemoe yang sebelumnya menempati rumah Pak Oemar kini itu. Pak Kemoe juga guru di SPG Wonogiri. Ketika saya kecil, masih ingat bahwa ibu saya, Bu Kemoe, juga Bu Kardi, belajar sama-sama naik sepeda. Mungkin peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1958.

“Nabi itu lebih terkenal di luar daerahnya,” begitu ada kata pepatah. Kiranya ini cocok untuk menggambarkan gaung reputasi Pak Oemar. Karena informasi tentang Pak Oemar yang sangat terkenal, tentu saja, mengenai pengalaman beliau selama belasan tahun mengajarkan seni pedalangan di Amerika Serikat. Juga berkeliling dunia. “Keunggulan kita bukan pada teknologi, tetapi pada budaya,” kata Pak Oemar dalam obrolan dengan saya, 19 Agustus 2008 itu.

Saya setuju.

Tetapi karena sejak kecil saya miskin sentuhan budaya leluhur itu, utamanya pedalangan, barangkali itu yang membuat saya kesulitan mencari titik singgung dengan kiprah beliau. Informasi tentang beliau saya dapat secara sambil lalu, termasuk ketika terdengar suara riuh gamelan sampak dan tuturan suara dalang, ya suara Pak Oemar itu, yang memancar dari rumah beliau. “Pak Oemar sedang wayangan, karena mendapat tamu bule-bule,” kata tetangga.

Informasi lain, misalnya terkait dengan Jeff “Paimin” Coctaz. Bule asal Perancis ini pernah tinggal di rumah saya di tahun 1970-an. Ia “ditemukan” adik saya Bari Hendriatmo di Solo, dan kemudian ia menjadi salah satu murid seni pedalangan Pak Oemartopo. Setiap kali Jeff datang ke Kajen, 2003 dan 2008 yang lalu, selalu ia sowan ke rumah Pak Oemar.

Kaitan lain lagi, ketika saya tinggal di Jakarta (1980-1997), pernah melihat Pak Oemar muncul di televisi. Beliau sedang diliput untuk bercerita mengenai usaha karamba, peternakan ikan di Waduk Gajah Mungkur. Saat itu adik beliau, Drs. Oemarsono, menjabat sebagai Bupati Wonogiri.

Kondisi keterputusan informasi yang parah antara diri saya dengan beliau itu, yang antara lain membuat saya juga tidak mengenal putra-putri beliau. Ketika membaca lelayu atau selebaran berita duka cita, saya baru tahu data mengenai tiga putra-putri dan juga cucu-cucu beliau. Tepatnya seorang putri, Ut Pholowati, disusul dua putra : Puguh Aldoko Putro dan Aldoko Dwi Rodo Punggung. Anak pertama dan kedua beliau sudah memberikan beberapa cucu.

Ketika di pemakaman, bersama Mas Agus (kerabat Pak Oemar) dari Sragen, kami sama-sama mengabadikan peristiwa duka itu dengan kamera digital.. Saya juga sempat memberikan data email dan URL situs Kajenku yang memuat berita duka, wafatnya Pak Oemar, kepada Mas Agus itu. Tetapi saat itu saya tidak tahu secara pasti, siapa saja putra-putri dan kerabat beliau yang telah kena jepret kamera saya.

Gambar baru menjadi jelas bagi saya di hari Sabtu, 8 November 2008. Ketika itu kami bertiga berolahraga jalan kaki pagi mengitari tepian Waduk Gajahmungkur. Adik saya Nuning, Nano suaminya, dan saya. Mereka berdua punya cerita. Mereka menyesal tak bisa ikut melayat Pak Oemar, karena pada tanggal 5 November 2008 itu keduanya sedang di Jakarta. Menghadiri upacara ngunduh manten, putra Bapak Soemaryoto, anggota DPR RI asal Ngadirojo.

Saat sambil jalan kaki pagi itu Nuning menyebut nama Uti, putri pertama Pak Oemar. Ia secara khusus memberikan keterangan tambahan : “Uti itu orangnya tinggi, cantik sekali.” Segera saya tahu sosok yang Nuning maksud itu.

Ketika saya membuka-buka lagi file foto-foto saat pemakaman yang masih berada di kamera, saya segera tahu sosok Uti yang disebut Nuning sebagai “orangnya tinggi dan cantik sekali” itu. Bahkan kalau tak salah ingat, seusai upacara pemakaman, di jalan kecil dekat vihara Kajen, kami sempat berpapasan ketika sama-sama menuju pulang.

Saat itu Uti dan rombongan sepertinya (kira-kira lho) belum akrab dengan rute jalan. Sehingga ia nampak rada kesulitan menemui arah tepat untuk kembali ke rumah. Nampak ia seperti ingin menanyakan arah jalan itu kepada saya. Maklum, jalan kecil ini memang berbeda dengan jalan besar yang tadi dilewati ambulans dan rombongan besar pelayat.

Dengan agak tertegun, saya hanya bisa menjawab tatapan pertanyaan Uti itu dengan bahasa Tarzan. Saya mencoba menunjuk arah dengan gerak tangan untuk membantunya. “Jeng, panjenengan jalan ke selatan dulu, ke barat, lalu ke utara,” begitu kira-kira verbalnya penjelasan saya. Menyesal sedikit, sebetulnya arah pulang itu bisa searah dengan rute pulang yang saya tempuh saat itu. Arah sebaliknya dari yang saya sarankan tadi. Yaitu ke utara, ke barat (lewat depan rumah saya), lalu di perempatan belok ke selatan untuk tiba kembali ke rumah duka.

Yang pasti, saat itu saya tidak tahu kalau sosok cantik di depan saya tersebut, dengan dagu khas a la Michael Douglas, adalah putri Pak Oemartopo. Yang saya rasakan setelah mendengar cerita adik saya, tiga hari kemudian, saya merasa beruntung karena telah pernah memotretnya.


Kampanye anti korupsi. Kaitan paling dekat antara saya dan Pak Oemar terjadi dalam acara Agustusan 2007 itu. Selain mengajak anak-anak dan audiens menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung secara bersama, saya terus ingat ucapan beliau sebagai pejuang ketika mengungkapkan rasa keprihatinannya. Yaitu tentang carut-marutnya negeri ini akibat merajalelanya tindak korupsi.

“Mari kita doakan agar semua koruptor-koruptor itu mlembung perutnya !” tutur Pak Oemar dengan geram. Seruan dan protes beliau yang satu ini terus konsisten, termasuk ketika beliau saya rekam pendapatnya pada bulan Agustus 2008.

Obrolan menarik lainnya, saat tanggal 19 Agustus 2008 itu, Pak Oemar seperti memiliki nadar. Sambil bercerita mengenai pergaulannya yang luas dengan tokoh-tokoh akademisi dunia yang meminati budaya Jawa, beliau sempat mengatakan minat untuk mengajak saya ke Bali. Tentu saja bila kesehatan beliau memungkinkan.

Saat itu kepada saya sempat beliau tunjukkan dua botol berisi tablet atau kapsul obat kiriman sahabat-sahabat Pak Oemar dari manca negara. Ketika saya memperhatikan salah satunya, yaitu botol berisi aspirin (“bagus untuk menahan rasa nyeri, juga mencegah serangan jantung”), Pak Oemar malah menyuruh saya untuk mengambil beberapa. “Kalau ada obat yang saya miliki dan cocok, silakan Mas Bambang ambil di sini,” tutur Pak Oemar. Terima kasih, Pak Oemar.

Kembali ke kisah Pak Oemar tentang Bali tadi. Konon dalam pesta budaya tingkat dunia itu, tepatnya acara World Music Workshop in Bali, kita nanti akan ketemu antara lain dengan Dr. Robert E. Brown dari San Diego State University (AS) sampai Dr. Lewis Peterman, ahli musik Eropa dan pemain sitar Cina. “Nanti saya naik kapal terbang, Mas Bambang bisa naik bis. Di Bali nanti bersama saya, penginapan sampai akomodasi akan ditanggung panitia,” tutur Pak Oemar. Terima kasih, Pak Oemar.

Begitulah, berkat cerita Pak Oemar itu pula, akhirnya saya memang bisa “ketemu” dengan beliau-beliau para bule profesor itu. Bahkan juga dengan tokoh dalang bule, murid Pak Oemar lainnya, Matthew Isaac Cohen dari Inggris. Beliau yang terakhir ini adalah dosen senior di Royal Holloway, University London. Bahkan masih punya punya hubungan famili dengan Pak Oemar. Matthew yang memperistri kerabat jauh Pak Oemar itu akan memanggil om untuk Pak Oemartopo.

Nama-nama bule itu bisa saya temui Rabu, 5 November 2008. Sekitar jam 10-an. Sebelumnya, di pagi hari, ketika saya sedang berwudlu di pancuran depan rumah untuk sembahyang Subuh, terdengar bunyi kentongan menyobek keheningan pagi. Biasanya dipukul oleh Pak Kariman. Itu tanda ada warga Kajen yang meninggal dunia. Siapa ?

Innalillahi wainnaillaihi roji’un.
Bapak Oemartopo telah dipanggil Sang Khalik.
Tutup usia, 72 tahun.

Ketika Kajen dilanda sedih, yang bisa saya kerjakan saat itu adalah : menulis kenangan terakhir saat saya bertemu Pak Oemar. Sebelumnya saya mengambil selebaran berita duka ke rumah beliau. Selesai menuliskannya, saya bergegas ke Warnet JetixNet, di sebelah timur Stasiun Kereta Api Wonogiri. Untuk memajang tulisan dan foto beliau di blog Kajenku, Kampungku, Kebanggaanku. Untuk mewartakan kepada dunia bahwa sekarang ini warga Kajen, warga Wonogiri, dan keluarga besar Bapak Oemartopo sedang dilanda duka.

Ketika saya kembalinya melewati tengah Pasar Wonogiri, terdengar dialog ini. “Dari mana bu,” sapa seseorang penjaga kios di pasar. “Dari layat,” jawab ibu yang ditanya. Langsung saja yang bertanya tadi malah menjelaskan kepada dirinya sendiri, “Oh iya, layat Pak Oemartopo.” Berita duka itu sudah sampai dimana-mana pagi itu di Wonogiri. Saya ingin mewartakannya juga kepada dunia.


Melanjutkan langkah Pak Oemar. Para bule sahabat Pak Oemar di atas tadi, yang mencerminkan Pak Oemar sebagai warga kosmopolitan, warga dunia, saya temukan lewat mesin pencari Google (www.google.com) di Internet. Dengan mengetikkan kata “Oemartopo” akan tersaji beragam catatan jejak beliau sebagai budayawan kelas dunia semasa hidupnya. Jejak beliau di Google itu semoga akan abadi.

Sebagai tetangga sebelah pagar, yang kebetulan menekuni aktivitas sebagai blogger, saya hanya mampu menambah sedikit data tentang beliau yang sudah kaya itu. Dengan menuliskannya di blog itu pula. Yaitu cerita-cerita ringan yang saya ingat, yang bisa saya catat dan saya tuliskan. Termasuk mendokumentasikannya dalam bentuk CD (cakram padat) ini. Semoga ikhtiar kecil ini merupakan langkah awal. Sebuah rintisan dan sekaligus ajakan.

Semoga, harapan besar saya lainnya, catatan tentang beliau tidak lalu terhenti. Untuk maksud itu telah saya luncurkan pula blog baru, sebagai rintisan guna mendokumentasikan jejak-jejak perbuatan baik dan prestasi Pak Oemar di masa lalu. Agar semakin diketahui oleh dunia.

Blog itu bernama Petruk Dadi Ratu. Alamatnya di Internet : http://petrukdadiratu.blogspot.com. Judul itu saya pilih setelah membaca cerita dari murid Pak Oemar, Matthew Isaac Cohen asal Inggris, yang pada tahun 1989 khusus ingin belajar mendalang dari Pak Oemar dengan lakon jenaka dan sarat kritikan sosial tersebut. Email khusus untuk blog tersebut : petrukdadiratu2008@gmail.com.

Siapa tahu, baik istri sampai anak, menantu dan cucu, mulai dari Ibu Sunarni, Ibu Sri Suyamti, Ut Pholowati, Moch Subhan Kenedi, Puguh Aldoko Putro, Rita Subekti, Aldoko Dwi Rodo Punggung, serta para cucu yaitu Kentari, Ibel, Rehan dan Rara, sudi menuliskan dan memajang kenangannya tentang almarhum Pak Oemar. Lalu dipajang di blog, untuk dibagikan kepada dunia. Terbuka juga untuk kerabat lain, para handai taulan, juga murid-murid beliau.


Selamat jalan, Pak Oemar. Isi obrolan Pak Oemar dengan saya tentang niatan pergi bersama-sama ke Bali, memang akhirnya tidak kesampaian. Manusia berencana, Tuhan menentukan. Walau pun demikian, ajakan beliau itu akan tetap saya kenang sebagai kado indah, karena bertabur niat dan kebaikan hati beliau kepada diri saya.

Dari catatan di Internet tentang Pak Oemar, saya temukan kemudian hal yang menyentuh terkait pemakamannya. Dalam catatan Dr. Robert E. Brown, acara World Music Workshop in Bali 2005, yang juga diikuti oleh Pak Oemar, dilangsungkan di tempat yang disebut sebagai Flower Mountain, gunung bunga. Tepatnya di Payangan, Bali.

Tiga tahun kemudian, di Rabu siang, 5 November 2008, saya mampu ikut barisan panjang dalam hening dan berselimutkan duka, mengantar Pak Oemar menuju flower mountain itu. Bukan di Bali, tetapi di Kajen, Wonogiri. Karena di atas pusara almarhum telah ditebarkan bunga, bunga dan bunga, oleh keluarga besar dan handai taulan yang mencintai beliau, sehingga akhirnya menggunung menyerupai gunung bunga.

Semoga dari simbol gunung bunga mawar itu, di antara suasana duka, juga doa dan lantunan tanda keikhlasan dari para istri, anak, menantu, cucu dan keluarga besar Pak Oemar, akan selalu teruar dan terumbar nama harum, nama baik dari jasa-jasa Pak Oemar ketika hidupnya.

Sehingga sosok beliau senantiasa lestari, menghiasi hati dan jiwa mereka-mereka yang masih hidup, yang mengenal beliau, mereka yang telah ikhlas mendoakan beliau untuk tenteram dalam peristirahatan abadi, disisiNya. Sebagai tetangga sebelah pagar, saya ikut mendoakan Pak Oemar.

Selamat jalan, Pak Oemar. Sugeng tindak, Pak Oemar. Semoga Tuhan Yang Maha Besar akan menempatkan Ki Haji Oemartopo selalu di depan kelir milik Gusti Allah yang terindah.



Wonogiri, 5-26/11/2008


Biodata penulis. Bambang Haryanto adalah seorang blogger, penulis bebas, inkubator gagasan kreatif dan intellectual hedonist. Lahir di Solo, 24 Agustus 1953. Anak pertama dari keluarga Kastanto Hendrowiharso (Purnawirawan TNI/AD) dan Sukarni (wiraswastawan). Berdomisili di Kajen Timur, Wonogiri.

Menulis beragam artikel sejak tahun 1977 dengan topik teknologi informasi, sepakbola sampai komedi. Artikelnya terakhir dimuat di harian Kompas, 8 September 2007, berjudul “Sepakbola : Cermin Korup dan Ambivalensi Kita.”

Menulis buku kumpulan humor Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987), Bom Tawa Antar Bangsa (USA, 1987) dan Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati : Kesaksian Seorang Suporter Pasoepati (2004, belum diterbitkan).Memenangi lomba Honda The Power of Dreams Contest 2002 (PT Honda Prospect Motor) dengan esai impian berjudul, “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif”. Kemudian profil dirinya sebagai suporter sepakbola ditayangkan dalam acara “The Power of Dreams 2002 Documentary” di TransTV (29/6/2002).

Pada tahun 2004 dengan perannya sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia (EI) yang mengusung resolusi untuk membangun lebih dari seratus blog untuk komunitas EI telah memenangi Mandom Resolution Award 2004 (PT Mandom Indonesia Tbk, Jakarta). Tesisnya mengenai manfaat blog untuk pemberdayaan komunitas kaum epistoholik atau pencandu penulisan surat pembaca sebagai salah satu pilar penegakan demokrasi telah memenangkan (http://esaiei.blogspot.com/2004/12/mandom-resolution-award-2004-1.htm) award tersebut.

Tercatat pertama kali di MURI tahun 2000 sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli. Prestasi MURI-nya yang kedua diperoleh pada tanggal 27 Januari 2005 sebagai pencetus komunitas Epistoholik Indonesia yang sekaligus mendeklarasikan tanggal tersebut sebagai Hari Epistoholik Nasional.

Sebagai blogger ia baru saja menjadi pembicara dalam acara Jagongan Blogger a la Solo, acara yang ia gagas bersama komunitas Pasarsolo.com di gerai Speedy Hik, Solo Grand Mall Solo, 23 November 2008. Profilnya telah ditulis di pelbagai blog tanah air.

Sebagai blogger ia mengelola beberapa situs blog di Internet meliputi : Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com) dan pengalaman pribadinya sebagai seorang epistoholik pada blog Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com). Blog ini baru saja diundang untuk tercatat di Blogged.com (http://www.blogged.com/blogs/esai-epistoholica.html/) yang bermarkas di Alhambra, California, Amerika Serikat.

Kegemarannya terhadap lagu-lagu kelompok musik softrock AS, Carpenters, ia pajang pada blog Close To You (http://undagi.blogspot.com), gagasannya seputar dunia komedi pada blog Komedikus Erektus ! (http://komedian.blogspot.com), topik terkait sepakbola dan dunia suporter pada blog Suporter Indonesia (http://suporter.blogspot.com), riwayat hidupnya sebagai warga Wonogiri pada blog The Morning Walker (http://wonogirinews24.blogspot.com ), dan blog seluk beluk peristiwa di Wonogiri pada Wonogiri World News (http://wonogirinews.blogspot.com ) dan kampungnya di Kajenku, Kampungku, Kebanggaanku (http://kajenku.blogspot.com). Blog keluarga besarnya di blog Trah Martowirono (http://trah.blogspot.com). Milis komunitas EI adalah : epistoholik-indonesia@yahoogroups.com .

Ia menempuh pendidikan di Jurusan Mesin pada Fakultas Keguruan Teknik UNS (1979) dan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1984).


Alamat Bambang Haryanto :

Jl. Semangka II/17, Rt. 01/RW XI, Giripurwo, Wonogiri 57612.
Email : humorliner (at) yahoo.com
HP : +6281329306300.

Ki Oemartopo

Obituari dari Matthew Isaac Cohen


Yang pertama. Menurut posting di milis gamelan list, salah satu guru pedalangan saya, Ki Oemartopo, telah meninggal dunia kemarin (5 November 2008). Pak Oemar, begitu saya menyebut beliau, mempraktekkan seni pedalangan gaya Mangkunegaran dan belajar seni rupa di ASRI Yogyakarta. Beliau merupakan dalang profesional pertama yang tinggal dan mengajar di Amerika Serikat.

Pak Oemar mengajar di Universitas Wesleyan akhir tahun 1960-an dan kemudian di American Society for Eastern Arts (ASEA) dan pelbagai universitas di California. Beliau juga bekerjasama dengan Bob Brown dalam program musim panas di Bali, selain mengajar di Hongaria.

Saya mengenal Pak Oemar melalui Marc Hoffman, dimana saya membantu dia dalam pementasan wayang di Universitas Hawaii tahun 1988. Pak Oemar mengajar Marc di California pada awal tahun 1970-an.


Cinta Petruk. Bila saya tak salah ingat, pertama kali saya mengunjungi rumah Pak Oemar di Wonogiri pada awal tahun 1989. Pak Oemar mendorong saya untuk mempelajari pedalangan secara jangkep, di mana saat itu saya hanya ingin mempelajari sulukan dan gerak wayang di STSI, tetapi tidak untuk mendalang.

Beliau juga mendorong saya untuk mempelajari lakon pokok seperti Makutharama, tetapi saya bersikukuh untuk hanya ingin mempelajari lakon Petruk Dadi Ratu (Petruk Becomes King), lakon ringan, jenaka dan tidak pretensius. Saya nglanjo ke Wonogiri dua atau tiga kali dalam seminggu beberapa bulan kemudian, bekerjasama dengan Pak Oemar dan para niyaga asal Wonogiri.

Pementasan pertama kali saya terjadi di musim panas 1989, ketika saya memanggungkan satu pathet lakon Petruk Dadi Ratu. Mas Joko Susilo, guru saya lainnya dan Pak Oemar mendalang untuk dua pathet selanjutnya. Seperangkat kecil gamelan menyertai pementasan di ruang depan rumah Pak Oemar dengan dihadiri undangan yang sebagian besar mahasiswa asing yang belajar karawitan di Solo. Pak Oemar tidak lagi aktif mendalang pada tahun 1989-1990 karena ada masalah kesehatan, jadi sungguh suatu kehormatan saya bisa menyaksikan aksi beliau dalam mendalang.


Kehilangan anggota keluarga. Saya meneruskan berguru kepada Pak Oemar sepanjang sisa waktu saya tinggal di Jawa, yaitu sampai akhir musim panas 1990. Beliau adalah tuan rumah yang murah hati, sampai mengantar saya berkunjung ke Manyaran untuk membeli wayang, mengundang saya untuk menghadiri acara-acara khusus, juga makan bersama di rumah beliau. Beliau menjadi sosok terhormat di mata saya walau belakangan ini kita tinggalnya secara berjauhan.

Istri saya merupakan famili jauh dari Pak Oemar. Ia memanggil Pak Oemar dengan sebutan om. Jadi ungkapan duka cita saya ini bukan saja karena kehilangan seorang guru, tetapi juga kehilangan seorang kerabat. Saya ikut berduka cita yang mendalam untuk seluruh keluarga Pak Oemar. “Dari Tuhan ia berasal dan kepada Tuhan pula ia kembali. Dan kini Tuhan telah menyemayamkan Pak Oemar dalam keabadian.”

3 comments:

Bambang Haryanto said...

Yes,Matthew, Mr. Oemartopo has died in peace. My name is Bambang Haryanto, neighbour of him. Please check his latest photo in my blog, Kajenku,Kebanggaanku.
November 13, 2008 4:33 AM

Matthew Isaac Cohen said...

Thank you for sharing your blog about Pak Oemar. Saya ikut bela sungkawa kepada semua keluarganya.
November 19, 2008 4:05 PM

petruk dadi ratu said...

Dear Mas Matthew,

Terima kasih kembali. Isi blog Anda tentang Pak Oemar telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lalu saya pajang dalam blog tersendiri, Petruk Dadi Ratu. (http://petrukdadiratu.blogspot.com).Ini terinspirasi cerita Anda.

Moga Mas Matthew tak keberatan. Salam dari Wonogiri, dan bela sungkawa Anda akan saya sampaikan kepada keluarga. Salam saya,

Bambang Haryanto
November 28, 2008 9:42 PM


Sumber tulisan : http://indonesianperformance.blogspot.com/2008/11/ki-oemartopo.html. Diposting Kamis, 6 November 2008.


Matthew Isaac Cohen, tinggal di London, Inggris. Dia adalah dosen senior Royal Holloway, Universitas London. Saat ini sedang melakukan cuti untuk merampungkan penulisan bukunya yang berjudul Performing Otherness: Java and Bali on International Stages, 1905-1952.

Karya ini merupakan hasil risetnya selama lebih dari dua dekade terakhir mengenai seni pertunjukan di Indonesia. Sesekali Matthew juga mendalang dalam pelbagai kesempatan. Menurutnya, blognya yang ia luncurkan sejak bulan Oktober 2008 tersebut sebagai persiapan untuk kunjungannya ke Indonesia.

Diterjemahkan secara bebas oleh Bambang Haryanto

Guru Dalang Asing Meninggal

Harian Suara Merdeka, Kamis, 6 November 2008 : hal. P


Photobucket

Keterangan foto : Ki Oemartopo (kiri depan) memimpin murid-muridnya dari Amerika yang datang ke Wonogiri untuk diruwat. Sebelum menjalankan ritual tersebut mereka mengikuti prosesi kirap pusaka bulan Sura. Foto oleh : Bambang Pur/SM.


WONOGIRI : Dalang wayang kulit Ki H. Oemartopo, yang juga guru pedalangan warga asing, Rabu dini hari (5/11) meninggal dunia dalam usia 72 tahun. Ketua Persatuan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani) Wonogiri, Drs AK Djaelani mengatakan, Oemartopo merupakan sosok seniman dan budayawan Jawa. Dia memiliki basis sebagai guru Bahasa Jawa di Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

“Dia sangat mumpuni dalam bahasa Jawa. Juga mendalami kebudayaan Jawa,” puji Djaelani. Oemartopo juga dikenal sebagai dalang wayang kulit pentas ringkas berbahasa Inggris. Semasa hidupnya dia berulangkali ke luar negeri untuk mengajar seni pedalangan di sejumlah perguruan tinggi di Amerika.

Bahkan di rumahnya, juga didirikan padepokan seni pembelajaran pedalangan wayang kulit, untuk menampung dan mengasuh warga dari manca negara yang eblajar mendalang. Murid-muridnya dari Amerika dan Prancis.

Minta diruwat. Pada 1990an, murid-murid Oemartopo dari Amerika ramai-ramai datang ke rumahnya, disambut resmi oleh Bupati Drs. Oemarsono (adik Oemartopo). Mereka disuguhi reog dan tayub di pendapa dan halaman pendapa, dan sekaligus diajak menari. Uniknya, para tamu dari manca negara itu juga minta diruwat.

Oemartopo juga pernah tampil menjadi pengrajin gamelan khusus ekspor. Abdi dalem Keraton Surakarta Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs. Pranoto Adiningrat, MM, budayawan peraih bintang budaya, menilai, Oemartopo juga mumpuni dalam soal tosan aji. (Bambang Pur).



pdr

Bapak Oemartopo Tutup Usia, 72 Tahun

Cerutu dan gergaji. Bulan Maret 2008 Bapak Oemartopo masih mendalang di Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta. “Selama dua jam penuh, berbahasa Inggris,” ujar beliau bersemangat. Saat itu, 19 Agustus 2008, beliau saya temui untuk meminta pendapat beliau sebagai sesepuh Kampung Kajen dan pejuang 1945 terkait renungan HUT Kemerdekaan RI ke 63. Walau mengaku dalam keadaan sakit, ada gangguan syaraf di punggung, beliau lancar dalam bercerita.

Tergoda untuk mengetahui bagaimana humor dalam wayang bisa diterima oleh penonton wayang yang orang Barat, saya telah tanyakan hal itu kepada Pak Oemar. Beliau punya cerita ilustrasi yang menarik. Antara lain tentang sikap “kurang ajar” para punokawan dalam memperlakukan para raksasa. Misalnya ketika Petruk mengelus-elus gigi-gigi para raksasa. “Like a saw,” cetus Petruk. Seperti gergaji. Sementara Gareng ikut menimpali ketika ia justru memegang-megang hidung si Petruk. “Like a cigar.” Seperti cerutu, demikian kata Gareng.

Audiens pun tergelak. Tetapi yang paling lucu mungkin kisah tentang Sengkuni, maha patih yang eksentrik dan licik itu. Konon setelah pasukan kerajaannya menang perang di kerajaan Wirata, dan setelah menempuh jarak ribuan kilometer untuk pulang, ia mengadu ke Resi Durna. Sengkuni mengeluh, “I left my cigarette in Wirata.” Rokok klobot, rokok tradisional milik Sengkuni yang dibungkus dengan kulit buah jagung itu ketinggalan di Wirata. Dan ia sangat menyesalinya.

Dalam obrolan itu saya sempat merekam secara video pendapat beliau mengenai bagaimana warga Kajen, juga anak bangsa, dalam mengisi kemerdekaan. Seperti isi pidato beliau di acara renungan HUT RI ke 62 (2007) yang dilangsungkan di halaman rumah saya, sebagai pejuang beliau sangat geram akan perilaku para koruptor. “Mereka itu yang berpotensi menenggelamkan negeri ini ke jurang kehancuran,” tegas Pak Oemartopo.

Terkait dengan sosok beliau sebagai budayawan, dalang dan etnomusikolog yang mendunia, beliau menceritakan hal yang menarik. Bila bisa sembuh total, beliau akan mengajak saya untuk menemaninya mengikuti acara pertemuan budaya yang diadakan tahunan di Bali, yaitu World Music Workshop in Bali.Beliau juga menyebut nama Dr. Robert E. Brown, direktur kegiatan budaya ini. “Akomodasi akan ditanggung oleh panitia,” tutur beliau. Terima kasih, Pak Oemar.


Selamat jalan, Pak Oemar. Penutur lelucon wayang di atas, kini telah menghadap Sang Khalik Bapak Oemartopo meninggal dunia tanggal 4 November 2008 Jam 01.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Muwardi, Solo. Tutup usia mencapai 72 tahun. Jenazah dimakamkan di Pemakaman Umum Kajen Giripurwo, Wonogiri, Rabu, 5 November 2008.

Wonogiri merasa kehilangan salah satu warga terhormat dan duta budayanya yang terbaik. Kabar duka ini pun segera menyebar, dan sejak pagi rumah beliau telah dikunjungi ratusan takziah. Jumlah itu semakin bertambah di siang harinya. Belasan karangan bunga, dari Bupati Wonogiri, fraksi Partai Golkar di DPRD, kalangan pengusaha sampai sekolah, menunjukkan luasnya lingkup pergaulan beliau. Liputan fotonya sebagai berikut :

Photobucket

Wakil keluarga. Tokoh budaya dan Ketua Permadani Wonogiri, Drs. AK Djaelani, didampingi menantu Moch Subhan Kenedi dan putra, Puguh Aldoko Putro, menyambut para takziah. Selaku wakil dari keluarga beliau mengucapkan banyak terima kasih atas empati masyarakat Wonogiri, juga memohonkan maaf bagi semua kesalahan almarhum ketika berinteraksi dengan masyarakat di kala hidupnya.

Ikut memberikan sambutan dan penghiburan bagi yang berduka adalah Camat Wonogiri, Bapak Drs. Sriyono, MM. Sedang pembacaan doa dilaksanakan oleh Bapak Mohammmad Soepandi, BA.

Photobucket

Bendera duka. Bapak H. Oemartopo lahir di Sragen, 3 Desember 1936. Beliau menjabat sebagai guru SPG di Wonogiri sejak tahun 1961 sampai 1990. Mengajar kesenian di Amerika Serikat selama 12 tahun dan di Hongaria, 2 tahun. Dalam daftar riwayat hidup yang dibacakan oleh pambiwara, RMT Ki Lilik Guna Hanata Diprana, disebutkan bahwa jabatan pengabdian beliau yang terakhir adalah Ketua RT 01/RW XI Lingkungan Kajen, Giripurwo, Wonogiri, sampai akhir hayat.

Kajen memang kehilangan tokoh panutan. Rasa kehilangan itu ditunjukkan dengan barisan takziah yang memanjang, mengikuti gerak ambulans yang mengantar almarhum ke peristirahatan terakhir di Pemakaman Umum Kampung Kajen.

Photobucket

Gerbang alam fana. Peti jenasah memasuki gerbang Pemakaman Umum Kampung Kajen. Jasad Bapak H. Oemartopo bersiap beristirahat dalam kedamaian, di sisi Tuhan. Beliau memang telah pergi jauh, sudah tak lagi ada di antara kita di dunia yang fana ini. Yang pasti, kebaikannya, akan abadi dalam kenangan mereka yang beliau tinggalkan. Sebuah pesan singkat ini menarik untuk kita simak dan camkan : Do u know abt d things which live after death? Heart-10 mins, brain-10 mins, eyes-31 mins, legs-4 hrs, skin-5 days, bones-30 days, LOVE – FOREVER.

Photobucket

Kesedihan dan keikhlasan. Kehilangan orang tercinta selalu mengguratkan kesedihan mendalam. Barangkali juga hikmah. Penyair AS, Ezra Pound (1885–1972) melukiskan duka itu, O woe, woe/People are born and die/We also shall be dead pretty soon/Therefore let us act as if we were dead already. Mungkin isi puisi itu sama maknanya dengan ujaran, “carilah kehidupan seperti kau akan hidup selamanya, tetapi carilah pahala seperti esok kau akan mati.”

Keluarga besar Bapak H. Oemartopo nampak memaknai ajaran luhur itu. Kesedihan memang tidak bisa disembunyikan. Termasuk di wajah putrinya yang anggun, Ut Pholowati, yang mudah mengingatkan sosok Ratna Doemilah, peragawati nasional era akhir 70-an. Yang pasti tidak ada isak tangis darinya. Juga dari keluarga lainnya. Karena mereka tahu bahwa suami, ayah dan eyang tercinta mereka kini telah memperoleh tempat yang layak disisiNya.

Photobucket

Doa selalu beliau nantikan. Rabu, 5 November 2008, sekitar jam 15.00 WIB, upacara pemakaman Bapak H. Oemartopo telah berlangsung secara paripurna. Ikut menjadi saksi adalah adik beliau, Bapak Oemarsono, mantan Bupati Wonogiri dan Gubernur Lampung. Dipimpin Bapak Slamet Sadono, para takziah melantunkan doa kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, agar almarhum kini senantiasa damai dan tentram di haribaanNya.

Memang hanya doa kini yang beliau harapkan dari keluarga, untuk mampu menautkan bahwa cinta beliau kepada sesamanya akan senantiasa hidup dalam hari-hari kehidupan kita selanjutnya.

Sementara untuk keluarga besar H. Oemartopo, meliputi Ibu Sunarni, Ibu Sri Suyamti, Ut Pholowati/Moch Subhan Kenedi, Puguh Aldoko Putro/Rita Subekti, Aldoko Dwi Rodo Punggung, serta para cucu yaitu Kentari, Ibel, Rehan, Rara, semoga senantiasa diberi keteguhan iman dalam mengantar Bapak Oemartopo menghadap Sang Khalik.

Selamat jalan Pak Oemar.


(Bambang Haryanto)

kkk

Tamu dari Perancis : Jeff Francois Coctaz

Si Paimin dari Perancis. Blog ini ditulis dari kampung Kajen, Giripurwo, Wonogiri. Kalau Anda ingin tahu tentang Kajen, mohon maaf, silakan Anda pergi dahulu ke Paris, kota cahaya, yang ibukota Perancis.

Kunjungilah kantor kedutaan besar Republik Indonesia. Di sana silakan temui salah seorang pegawai lokalnya. Ia bernama : Jeff Francois Coctaz. Kepada mantan anggota angkatan laut Perancis dan lulusan antropologi ini, sapalah ia dengan bahasa Jawa. Atau bila ingin cepat lebih akrab, panggil saja dengan sebutan Mas Paimin.

Lalu tanyakanlah hal seputar Kajen kepadanya. Tanyakan tentang wayang, karena ia seorang dalang. Tanyakan apa ia masih ingat nama Bapak Oemartopo. Nama mBak Nur. Bapak Suroto yang Kaling Kajen. Ibu Sumarni Mulyarto. Mas Mulyadi. Juga masing-masing nama anak keluarga almarhum Kastanto Hendrowiharso.

Karena pada tahun 70-an Jeff Coctaz, pernah agak lama tinggal di rumah keluarga Kastanto sebagai sahabat Bari Hendriatmo, salah satu anak keluarga ini. Sejak itu Jeff ibarat sebagai warga Kajen yang kini sedang mengembara di Perancis.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Warga Kajen. Nampak Jeff bersama anak-anak sanggar melukis anak-anak Brigade Kelompok Kecil (BKK) Wonogiri. Di ujung kanan, bertopi, adalah pendiri BKK, Mayor Haristanto.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Saksi sejarah. Jeff bersama Bari sedang menyalami warga Trah Martowirono yang lagi berbahagia, yaitu Mas Untung Suripno dan Ibu Eri pada hari pengantin mereka di Prambanan, Yogyakarta. Kejadian itu sudah berlangsung 25 tahun lalu, karena di tahun 2007 yang lalu Mas Untung-mBak Eri baru saja merayakan pesta perak perkawinannya.


Berkunjung ke Kajen. Walau pun tidak intensif, saya (Bambang Haryanto) masih bisa kontak dengan Jeff melalui email. Hal itu berlangsung sejak tahun 2003, saat ia mengunjungi Kajen. Sore itu banyak sekali warga Kajen, juga anak-anak kecil, merubung untuk menemui saudara bule mereka yang lama tidak ketemu.

Hari Jumat sore, 28 Maret 2008, ia muncul lagi di Kajen. Ia ditemani Mas Widodo Wilis, dalang dari Ngadirojo. Jeff cerita sudah mengontak adik-adik saya, bahkan bisa ketemu dengan Broto Happy W. (wartawan BOLA) di Bogor. Juga kontak dengan Bari di Jember dan Mayor Haristanto di Solo. Sebelumnya ia sudah sampai di Sulawesi. “Aku balik ke Perancis, 4 April 2008,” katanya.

Sore itu, Jeff yang nampak necis (“koyo diplomat,” kataku dan ia tertawa), sempat menemui mBak Marni Mulyarto untuk menanyakan Ganefo (putranya) yang kini bekerja di Kendari. Juga bersilaturahmi dengan Bapak/Ibu Sunarso, depan rumahku. Tak lupa glenyengan menyalami anak-anak kecil Kajen. Ketika ia berjalan diapit temen cewek Perancis dan istrinya Mas Widodo ia bilang, “koyo Janoko.”

Saya rada iri dan kagum sama dia. Jeff ini dalam bahasa Jawa disebut grapyak, murah hati dan suka ngobrol, bertegur sapa. Banyak temannya. Wong Perancis tetapi guyonannya, jiwanya, sudah sebagai wong Jowo. Sore itu ia juga menemui budayawan dan tokoh pedalangan, Bapak Oemartopo.

Sayang, saat itu kamera digitalku lagi kehabisan bateri. Saya berharap Jeff bisa mampir lagi di Wonogiri, katanya mau nonton wayang, sehingga aku bisa memotretnya. Tak kesampaian. Ia kirim SMS :

“Mas Bambang, maaf baru baca sms anda. Saking banyak sms saya sdh tidak tahu lagi. Sya sdh di bandara Yogya utk menuju Surabaya. Waktunya terlalu cepat berlalu. Terima kasih dan tolong sampaikan salam kepada orang yg saya tidak sempat ketemu. Jeff.” (Senin, 31 Maret 2008 : 12.17.23).

Au Revoir, Jeff !


tmw

H. Oemartopo : Pesan Kemerdekaan RI 2008

Merdeka !

Sesepuh kampung Kajen, sekaligus Ketua RT 01/RW 11 Kajen, Bapak H. Oemartopo nampak bersemangat menyambut acara peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 63 di kampung Kajen.

Ditemui oleh Bambang Haryanto, blogger Kajen, beliau memberikan banyak pesan. Walau mengaku dalam keadaan kurang sehat, beliau tetap bersemangat layaknya pejuang di masa perjuangan.

Usianya yang melampui angka 70 tahun, pengalamannya sebagai budayawan, dalang dan etnomusikolog yang kenyang dengan perjalanan mengelilingi dunia, mampu memberikan kepada kita wawasan yang berharga. Terutama bagi warga Kajen dan warga Indonesia dalam mengarungi masa depan.

Dalam kesempatan bersejarah itu, beliau menitip pesan kepada warga Kajen untuk tabah dan tawakal dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Serta tetap berjuang mengisi kemerdekaan. Bukan dengan perang lagi, tetapi dengan bekerja dan berkarya.

Seperti isi pesannya tahun lalu, beliau tetap konsisten bahwa bangsa dan negara ini harus diselamatkan dari ancaman para koruptor. Mereka-merekalah itu yang berpotensi menenggelamkan negara dan bangsa Indonesia. Diharapkan bangsanya semakin cerdas dan berani memerangi penyakit bangsa yang kronis ini. Saya mendukung diberlakukannya hukuman mati bagi koruptor, tegasnya. Generasi muda harus menjadi bagian untuk memerangi ancaman besar satu ini.

Merdeka !

Nasionalisme Warga Kajen, Warga Kampungku

Ini Nasionalismeku, Bung ! Apa wujud nasionalisme Anda ? Lebih memilih konsumsi produk makanan tradisional, dibanding makanan asal luar negeri? Mendirikan lembaga pengajaran komputer secara gratis sehingga anak-anak Indonesia di lingkungannya bisa melek teknologi? Atau, menjelang 17 Agustus sengaja memasang bendera di stang spion motor dan memekikkan kata “Merdeka !” untuk pengendara motor lain yang memajang bendera Merah Putih pula ?

Itulah sebagian dari 62 pendapat pembaca Kompas dalam mengeskpresikan “Ini nasionalismeku !” yang dimuat dalam edisi16 Agustus 2007. Bagi warga RT 01/RW XI Lingkungan Kajen Giripurwo, Wonogiri, ekspresi nasionalisme itu kiranya bisa direntang lebih panjang dan memunculkan gambaran warna-warni.

Antara lain : Bapak Ketua RT, Haji Oemartopo, budayawan terkenal yang kenyang njajah desa milang kori dengan mendalang di kota-kota di Amerika Serikat, lalu masa revolusi tergabung resimen Sunan Lawu di daerah Sragen dan ikut menyerang kedudukan pasukan Belanda di pabrik Mojo, malam 16 Agustus 2007 nampak menyanyikan lagu “Halo-Halo Bandung” secara bersemangat. Semula beliau hendak menyayi sendiri, tetapi kemudian saya usulkan untuk ditemani anak-anak kampung Kajen. Beliau setuju.

Dengan ditemani puluhan anak-anak kecil kampung kami, kampung Kajen, Pak Oemar kompak melakukan koor dengan heroik bersama seluruh hadirin. Inilah sepotong adegan ekspresi “Ini Nasionalismeku !” dari peristiwa Malam Tirakatan Memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-62 di kampung Kajen.


Anda Ingin Mengenal Kajen ? Betul ? Pergilah dahulu ke Paris, kota cahaya, yang ibukota Perancis. Kunjungilah kantor kedutaan besar Republik Indonesia, dan temuilah salah seorang pegawai lokalnya. Ia bernama : Jeff Francois Coctaz. Kepada mantan anggota angkatan laut dan lulusan antropologi ini, sapalah dengan bahasa Jawa.

Atau bila ingin cepat lebih akrab, panggil saja dengan sebutan Mas Paimin. Lalu tanyakanlah hal seputar Kajen kepadanya. Tanyakan apa ia masih ingat nama Bapak Oemartopo. Nama mBak Nur. Bapak Suroto yang Kaling Kajen. Juga masing-masing nama anak keluarga almarhum Kastanto Hendrowiharso. Tahun 70-an Jeff Coctaz, pernah agak lama tinggal di rumah keluarga Kastanto sebagai sahabat Barry Hendriatmo, salah satu anak keluarga ini. Sejak itu Jeff ibarat sebagai warga Kajen yang kini sedang "mengembara" jauh di Perancis.

Memang di halaman rumah keluarga almarhum Kastanto inilah acara malam tirakatan 17 Agustus-an tahun 2007 digelar oleh warga Kajen. Secara lesehan. Di sisi barat halaman berukuran 6 x 12 meter ini dipakai sebagai panggung dengan dekor tulisan yang dirancang oleh Jumplong dari Percetakan JDI, juga warga Kajen. Lengkung-lengkung kain warna merah-putih di lisplang rumah menjadi aksen yang kental dalam menggugah semangat kebangsaan.

Penjor atau umbul-umbul warna-warni siangnya telah dipasang oleh Mas Parno. Ia punya sebutan angker, yaitu si Jack of All Trades alias McGyver-nya Kajen. Karena suami mBak Tien dan pria peramah asal Cepogo Boyolali yang sudah ajur-ajer sebagai wong Kajen sejak 1974 ini memang memiliki keperampilan serba bisa dalam krida pertukangan. Tetapi krida sebagai tukang santet dan tukang tenung tidak termasuk dalam keterampilannya.

Di pinggiran tempat duduk para pengunjung malam itu dikepung deretan tanaman adenium yang sedang mekar berbunga, koleksi Ibu Iwin M. Taufik, sang tuan rumah. Fasilitas pengeras suara dioperatori oleh Mas Giyadi, warga setempat. Pembawa acara adalah Suharto, tokoh karismatis dan flamboyan dengan sebutan gaul sebagai fish hunter yang sangat terkenal di Pasar Wonogiri.

Memang ia tidak atau belum memiliki kapal pukat harimau atau kesana-kemari selalu membawa harpoon seperti orang Eskimo, tetapi label pemburu ikan yang tertera dalam mobilnya menunjukkan siapa dia. Yaitu entrepreneur kelas kakap urusan kakap, walau sering yang ia urusi untuk bisnis sehari-harinya kebanyakan tongkol, gereh dan juga bandeng. Di Kajen ia memiliki jabatan resmi : Ketua K3.

Kakap, Kerapu dan Kepiting ?

Oh, bukan. Menurut Haryono, Sekretaris RT 01/RW XI, K3 merupakan kepanjangan dari kebersihan, ketertiban dan keamanan. Tema serupa K3 itu ternyata juga menjadi landasan dasar bagi penyelenggaraan beragam kegiatan merayakan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-62 di Kampung Kajen.


Meretas Tesis Clifford Geertz. Hal di atas diungkapkan oleh tokoh masyarakat yang terpandang di Kampung Kajen, Bapak H. Wiloso, BA, yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia HUT RI Ke-62 Lingkungan Kajen. Bahkan beliau memiliki cerita menarik yang selama ini seolah terpendam di bawah karpet. “Kampung Kajen kita ini, disadari atau tidak, penduduknya selama ini telah terbelah oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu,” kata beliau kepada “wartawan” blog Kajenku, Bambang Haryanto (20/8/2007).

Sekadar gambaran : lingkungan Kajen ini terdiri atas 6 RT. Ada 3 RT di bagian barat dan sisanya di bagian timur. Batas demarkasi yang “membelah” keduanya adalah Jl. Ahmad Dahlan yang merupakan jalan besar untuk bus jurusan Solo-Pracimantoro melintas. Pembelahan antar keduanya sepertinya sesuai dengan tesisnya antropolog terkenal Clifford Geertz.

Kita lihat, untuk Kajen Kulon (Barat) populasinya didominasi oleh kaum santri, tetapi di Kajen Wetan (Timur) oleh kaum abangan. Kajen Barat adalah masyarakat golongan elit, para pegawai negeri, sementara di Kajen Timur kebanyakan kalangan buruh tani. Kalau Pemilu, maka yang menang di Kajen Barat adalah PAN dan di Kajen Timur adalah PDIP atau Golkar. Ada pula perbedaan lain dari segi profil demografi penduduknya : di Kajen Barat relatif sedikit warganya yang berusia anak-anak dan remaja, sementara di Kajen Timur penduduk usia golongan ini berjubelan.

“Kajen adalah Kajen ! Nasionalisme untuk Kajen yang satu,” demikian tegas Pak Loso. Beliau menginginkan adanya ukhuwah alias persaudaraan untuk sesama warga Kajen tanpa adanya pembedaan-pembedaan yang tidak prinsip. Sosok beliau memang dapat dijadikan sebagai contoh. Ia berasal dari Kajen Kulon, tetapi karena luwes, ia pun bisa dengan enak berbicara dan bergaul dengan warga Kajen Wetan. Untuk mengikis kendala di atas, ia optimis akan teratasi oleh generasi-generasi yang akan datang. Sekadar contoh, sudah banyak anak-anak Kajen Timur yang bersekolah, misalnya TK Aisyiyah sampai SD dan juga SMA atau SMK Muhammadiyah yang terletak di Kajen Barat. “Tahun depan, sebaiknya lomba untuk anak-anak bisa memakai halaman sekolah-sekolah itu,” usul Bapak Wiloso. “Memanglah, menyemaikan kebaikan itu butuh sabar, karena untuk memetik buahnya memang dibutuhkan waktu,” tutur beliau dengan bijak.


Kajen Semarak ! Kebijakan itulah yang memandu panitia dalam memilih kegiatan lomba. “Jangan memilih lomba atau pertandingan yang mampu memicu tindakan kekerasan,” demikian angger-angger atau pedoman yang beliau gariskan. Pembiayaannya jangan memberatkan warga di tengah perekonomian yang masih sulit. Jangan sampai ada resiko cedera.

Awal Agustus 2007, pelbagai lomba mulai diselenggarakan. Baik untuk anak-anak, kaum remaja, kaum ibu dan juga kaum bapak. Sebagian besar diselenggarakan di venue utama, yaitu lapangan voli mBelik (Kajen Timur, Rt 01/XI), yang hanya beberapa belas meter dari tepian Bengawan Solo yang airnya di bulan Agustus mengalir tenang.


Perlombaan Anak-Anak (TK-SD).

Dengan arahan koordinasi Fajar Hartanto (Rt 3/RW X), tanggal 5 Agustus 2007, dibuka dengan lomba pukul air perorangan. Adik-adik kita yang bersukaria dan berbasah-basah ini akhirnya menelurkan Juara I – Bestin (1/XI), Juara II – Dila (2/X) dan Juara III – Diki (2/X).

Mayasari (bukan nama bis di Jakarta) dari Rt 02/RW XI kemudian memimpin lomba unik : memasukkan pensil ke dalam botol. Kembali kita sebut nama Bestin (1/XI) karena ia tampil sebagai juaranya, disusul Krisna (1/XI) dan Vian (1/XI) sebagai juara ketiga. Selanjutnya ajang lomba menjadi arena gelak tawa akibat kemunculan beragam badut dengan cemong-cemong warna hitam di wajah mereka. Dengan koordinasi Fandi (Rt 3/XI) belasan anak-anak mengadu kekuatan giginya untuk mengambil koin dari buah melon. Sokurlah buahnya melon, bayangkan bila yang dipilih panitia adalah buah durian. Bisa wajah-wajah mereka godres getih ya ? Ah, kasihan. Inilah juaranya : Krisna (1/XI), Ninis (3/X) dan disusul Nanda (1/XI).

Masih dalam suasana hari yang cerah di Kajen, Minggu sore itu diramaikan dengan anak-anak yang berlarian, sambil mengundang deg-degan para orang tua mereka. Mereka sedang ikut lomba lari kelereng, walau bukan ke lereng bukit. Tetapi yang dimaksud adalah biji kelereng atau sebutan lainnya adalah gundu, yang ditaruh di dalam sendok yang tergigit di mulut-mulut mereka. Lomba seru di bawah koordinator Dito (1/X) kembali memunculkan nama Bestin (1/XI) sebagai juara pertama. Ia melakukan hattrick setelah memenangkan lomba pukul air, memasukkan pensil ke botol dan kemudian lari kelereng. Juara keduanya, Angga (1/XI) dan disusul Yogya (2/X).

Lomba makan kerupuk, yang bila diartikan secara harafiah entah berapa tombong kerupuk yang bakal habis diserbu oleh puluhan anak-anak Kajen, akhirnya memunculkan lagi nama Ninis (3/X) sebagai juara pertama, disusul Arin (1/XI) dan Galih (2/XI) sebagai juara ketiga. Kriuk, kriuk, kriuk.




kkk