Kamis, 27 November 2008

Pak Oemar : Catatan Tetangga Sebelah Pagar

OLEH BAMBANG HARYANTO


Harapan terselubung. Keseleo lidah atau slip of tongue, begitu sebuah teori dari bapak psikoanalisis terkenal dari Austria, Sigmund Freud (1856-1939). Ketika seseorang keseleo lidahnya dalam mengatakan sesuatu, menurut Freud, si orang tersebut sebenarnya ingin mengatakan apa yang membuat keseleo lidah tersebut.

Sayang, Freud sudah meninggal dunia. Ia juga bukan warga Kajen, kampung saya. Bila ia masih hidup dan ia tetangga saya, ia akan saya minta untuk menganalisis kata-kata saya yang terekam dalam kamera digital, Nikon Coolpix L-11. Kata-kata keseleo saya, yang justru nantinya membanggakan saya.

Saat itu hari Selasa pagi, 19 Agustus 2008. Warga kampung saya, Kajen, sedang dibakar gairah dan hiruk-pikuk menyambut perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-63. Nanti malam akan ada pesta kesenian atau malam hiburan. Apakah Pak Oemar akan hadir malam itu ? Itulah pikiran yang berkelebat di benak saya.

Mengilas balik tahun lalu, 2007, acara puncak 17 Agustusan itu dihadiri Pak Oemar. Acaranya dilaksanakan di halaman rumah saya. Acara kendurian. Secara lesehan. Secara sederhana. Salah satu adegan dari acara itu dan mengesankan, adalah ketika sebelum memberikan sambutan, Ketua Rt 01/RW 11, Bapak H. Oemartopo, ingin menyanyikan lagu heroik, Halo-Halo Bandung.

Saya melakukan interupsi. Saya usulkan agar Pak Oemar dalam menyanyi disertai oleh anak-anak kecil Kampung Kajen. Beliau setuju. Semua hadirin setuju.

Anak-anak Kajen seumuran TK dan SD segera ramai-ramai menyerbu panggung. Berjajar bersama Pak Oemar. Dengan dirijen Pak Oemar, akhirnya seluruh hadirin menyanyikan lagu perjuangan itu. Menggetarkan. Membanggakan. Satu hal yang patut saya sesali, saat itu saya belum memiliki kamera untuk mengabadikannya.

Sebenarnya saya saat itu telah meminta bantuan adik saya, Betty Hermisnawaningsih, agar memotret momen heroik itu dengan kamera di HPnya. Ia memang memotretnya. Tetapi beberapa hari kemudian ketika saya tanyakan hasil fotonya, ia tidak memberikan jawaban positif. Jadi sampai saat ini saya tidak tahu apakah adegan acara 17 Agustus 2007 di Kajen itu terekam secara visual atau tidak. Mungkin saja fotonya kabur atau tidak jadi. Yang jelas : sebuah potongan sejarah kampung saya menjadi tidak ada arsip secara visualnya.

Yang pasti, didorong oleh rasa bangga dan mongkog atas acara itu, saya menyatakan kepada hadirin malam itu bahwa acara ini akan saya tayangkan di Internet. Saya tahu, Internet masih merupakan hal asing bagi sebagian besar warga kampung saya. Biarlah, arsip digital ini mungkin akan diakses oleh anak-anak Kajen generasi masa depan. Generasi melek teknologi yang akan datang.

Kebetulan saya dikaruniai keterampilan kecil satu ini, rasanya tak ada salahnya berbuat sebisa saya untuk kampung saya ini. Saya kemudian memutuskan untuk menuliskan catatan saya di blog terbaru saya (saat itu) di Internet. Yaitu blog Kajenku, Kampungku, Kebanggaanku. Adresnya di Internet : http://kajenku.blogspot.com.

Pada acara Agustusan 2008, saya tak mau kehilangan momen untuk mengabadikannya. Hari Selasa malam, 19 Agustus 2008, akan ada acara puncak itu. “Apa nanti malam Pak Oemartopo akan rawuh, hadir ? Apa juga memberikan sambutan seperti tahun lalu ?” Itu tanya saya kepada Mas Parno, aktivis kampung saya.

Saya mendapatkan jawaban, bahwa saat ini Pak Oemar sedang gerah. Kurang sehat. Akhirnya saya memutuskan untuk sowan ke rumah beliau. Gagasan yang muncul, siapa tahu rekaman video berisi pesan-pesan Pak Oemar di bulan keramat Agustus itu dapat diputar, diselipkan dalam acara malam nanti.

Keseleo lidah saya terjadilah di pagi itu. Di depan Pak Oemar. Dalam memulai rekaman video itu, saya tidak sadar telah menyebutkan bahwa tanggal hari itu sebagai “19 Agustus 2009.” Kesalahan fatal. Seharusnya “2008” tetapi yang keluar dari mulut saya “2009.” Saya tahu kesalahan itu ketika sudah pulang dari rumah Pak Oemar. Saya tak bisa menghapusnya. Atau melakukan rekaman ulang.

Aduh, keseleo lidah saya itu, seperti kata teori Freud tadi, mungkinkah sebenarnya merupakan harapan diam-diam saya ? Yang mengharapkan sekali agar Pak Oemar masih sugeng, segar bugar, hingga tahun 2009 ?


Kenal nama sejak 1967. Nama Bapak Oemartopo sudah saya kenal sejak tahun 1967. Empat puluhan tahun yang silam. Saat itu beliau tinggal di lingkungan SD Muhammadiyah, Kajen Kulon. Sebagai pendidik di SPG Wonogiri. Sementara saya tinggalnya di Kajen Wetan. Istri pertama beliau, Bu Nik, mengajar di Taman Kanak-Kanak di lingkungan yang sama. Hampir semua anak keluarga Kastanto Hendrowiharso, orang tua saya, menjadi murid Bu Nik dalam usia pendidikan taman kanak-kanaknya.

Saya terkadang main ke rumah beliau ini. Karena saat duduk di kelas 1B SMP Negeri I Wonogiri saat itu, saya memiliki teman bernama Tri Handoyo. Kalau tidak salah ia berasal dari Klaten, dan tinggal di rumah Bapak Oemartopo. Entah sebagai anak pupon atau sebagai saudara, saya tidak tahu pastinya. Ketika nama ini saya ungkapkan dalam obrolan 19 Agustus 2008, Pak Oemar sepertinya sudah tidak ingat nama Tri Handoyo ini.

Saya ingat, Tri ini anaknya kecil. Tampan. Baju kesayangannya warna hijau telur bebek, dari bahan sanforized. Bahan yang mahal dan elit saat itu.

Di lingkungan rumah Pak Oemar itu juga tumbuh pohon apel. Juga berdekatan dengan mushola dan sumur. Teman SMP saya dari Kajen Kulon, selain Tri Handoyo saat itu, adalah tetangga Pak Oemar. Namanya, Muhammad Hasim, putra Bapak Sutjipto. Hasim ini punya kakak, namanya saya lupa, yang terkenal merdu dan indah dalam beradzan. Agak ke selatan lagi, di rumah keluarga Bapak Sidin Wirotenoyo, tinggal teman SD-SMP saya juga, Sri Wahyono (almarhum).

Teman SMP lainnya dari Kajen Kulon adalah Mas Gembuk (Bambang Sadoyo), putra Pak Maryomo. Teman saya lainnya adalah Gimanclung, alias Hargiyanto. Seingat saya, Tri Handoyo tidak sampai tamat SMP saat ia tinggal di Wonogiri itu.


Karamba di televisi. Selepas SMP di tahun 1969, saya bersekolah di Yogyakarta, melanjutkan ke Solo dan lalu Jakarta Hal itu membuat saya terputus informasi mengenai kiprah Pak Oemar dalam jangka waktu yang sangat lama. Hampir 30 tahun. Karena saya baru mudik ke Wonogiri tahun 1998.

Saya tidak tahu kapan tepatnya Pak Oemar dan keluarga menempati rumah beliau kini, di Jl. Ahmad Dahlan, yang masuk dalam lingkungan RT 01/RW XI, Kajen, Giripurwo. Pekarangan rumah beliau “adu pantat samping” dengan rumah saya. Seingat saya, keluarga Bapak Soekemoe yang sebelumnya menempati rumah Pak Oemar kini itu. Pak Kemoe juga guru di SPG Wonogiri. Ketika saya kecil, masih ingat bahwa ibu saya, Bu Kemoe, juga Bu Kardi, belajar sama-sama naik sepeda. Mungkin peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1958.

“Nabi itu lebih terkenal di luar daerahnya,” begitu ada kata pepatah. Kiranya ini cocok untuk menggambarkan gaung reputasi Pak Oemar. Karena informasi tentang Pak Oemar yang sangat terkenal, tentu saja, mengenai pengalaman beliau selama belasan tahun mengajarkan seni pedalangan di Amerika Serikat. Juga berkeliling dunia. “Keunggulan kita bukan pada teknologi, tetapi pada budaya,” kata Pak Oemar dalam obrolan dengan saya, 19 Agustus 2008 itu.

Saya setuju.

Tetapi karena sejak kecil saya miskin sentuhan budaya leluhur itu, utamanya pedalangan, barangkali itu yang membuat saya kesulitan mencari titik singgung dengan kiprah beliau. Informasi tentang beliau saya dapat secara sambil lalu, termasuk ketika terdengar suara riuh gamelan sampak dan tuturan suara dalang, ya suara Pak Oemar itu, yang memancar dari rumah beliau. “Pak Oemar sedang wayangan, karena mendapat tamu bule-bule,” kata tetangga.

Informasi lain, misalnya terkait dengan Jeff “Paimin” Coctaz. Bule asal Perancis ini pernah tinggal di rumah saya di tahun 1970-an. Ia “ditemukan” adik saya Bari Hendriatmo di Solo, dan kemudian ia menjadi salah satu murid seni pedalangan Pak Oemartopo. Setiap kali Jeff datang ke Kajen, 2003 dan 2008 yang lalu, selalu ia sowan ke rumah Pak Oemar.

Kaitan lain lagi, ketika saya tinggal di Jakarta (1980-1997), pernah melihat Pak Oemar muncul di televisi. Beliau sedang diliput untuk bercerita mengenai usaha karamba, peternakan ikan di Waduk Gajah Mungkur. Saat itu adik beliau, Drs. Oemarsono, menjabat sebagai Bupati Wonogiri.

Kondisi keterputusan informasi yang parah antara diri saya dengan beliau itu, yang antara lain membuat saya juga tidak mengenal putra-putri beliau. Ketika membaca lelayu atau selebaran berita duka cita, saya baru tahu data mengenai tiga putra-putri dan juga cucu-cucu beliau. Tepatnya seorang putri, Ut Pholowati, disusul dua putra : Puguh Aldoko Putro dan Aldoko Dwi Rodo Punggung. Anak pertama dan kedua beliau sudah memberikan beberapa cucu.

Ketika di pemakaman, bersama Mas Agus (kerabat Pak Oemar) dari Sragen, kami sama-sama mengabadikan peristiwa duka itu dengan kamera digital.. Saya juga sempat memberikan data email dan URL situs Kajenku yang memuat berita duka, wafatnya Pak Oemar, kepada Mas Agus itu. Tetapi saat itu saya tidak tahu secara pasti, siapa saja putra-putri dan kerabat beliau yang telah kena jepret kamera saya.

Gambar baru menjadi jelas bagi saya di hari Sabtu, 8 November 2008. Ketika itu kami bertiga berolahraga jalan kaki pagi mengitari tepian Waduk Gajahmungkur. Adik saya Nuning, Nano suaminya, dan saya. Mereka berdua punya cerita. Mereka menyesal tak bisa ikut melayat Pak Oemar, karena pada tanggal 5 November 2008 itu keduanya sedang di Jakarta. Menghadiri upacara ngunduh manten, putra Bapak Soemaryoto, anggota DPR RI asal Ngadirojo.

Saat sambil jalan kaki pagi itu Nuning menyebut nama Uti, putri pertama Pak Oemar. Ia secara khusus memberikan keterangan tambahan : “Uti itu orangnya tinggi, cantik sekali.” Segera saya tahu sosok yang Nuning maksud itu.

Ketika saya membuka-buka lagi file foto-foto saat pemakaman yang masih berada di kamera, saya segera tahu sosok Uti yang disebut Nuning sebagai “orangnya tinggi dan cantik sekali” itu. Bahkan kalau tak salah ingat, seusai upacara pemakaman, di jalan kecil dekat vihara Kajen, kami sempat berpapasan ketika sama-sama menuju pulang.

Saat itu Uti dan rombongan sepertinya (kira-kira lho) belum akrab dengan rute jalan. Sehingga ia nampak rada kesulitan menemui arah tepat untuk kembali ke rumah. Nampak ia seperti ingin menanyakan arah jalan itu kepada saya. Maklum, jalan kecil ini memang berbeda dengan jalan besar yang tadi dilewati ambulans dan rombongan besar pelayat.

Dengan agak tertegun, saya hanya bisa menjawab tatapan pertanyaan Uti itu dengan bahasa Tarzan. Saya mencoba menunjuk arah dengan gerak tangan untuk membantunya. “Jeng, panjenengan jalan ke selatan dulu, ke barat, lalu ke utara,” begitu kira-kira verbalnya penjelasan saya. Menyesal sedikit, sebetulnya arah pulang itu bisa searah dengan rute pulang yang saya tempuh saat itu. Arah sebaliknya dari yang saya sarankan tadi. Yaitu ke utara, ke barat (lewat depan rumah saya), lalu di perempatan belok ke selatan untuk tiba kembali ke rumah duka.

Yang pasti, saat itu saya tidak tahu kalau sosok cantik di depan saya tersebut, dengan dagu khas a la Michael Douglas, adalah putri Pak Oemartopo. Yang saya rasakan setelah mendengar cerita adik saya, tiga hari kemudian, saya merasa beruntung karena telah pernah memotretnya.


Kampanye anti korupsi. Kaitan paling dekat antara saya dan Pak Oemar terjadi dalam acara Agustusan 2007 itu. Selain mengajak anak-anak dan audiens menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung secara bersama, saya terus ingat ucapan beliau sebagai pejuang ketika mengungkapkan rasa keprihatinannya. Yaitu tentang carut-marutnya negeri ini akibat merajalelanya tindak korupsi.

“Mari kita doakan agar semua koruptor-koruptor itu mlembung perutnya !” tutur Pak Oemar dengan geram. Seruan dan protes beliau yang satu ini terus konsisten, termasuk ketika beliau saya rekam pendapatnya pada bulan Agustus 2008.

Obrolan menarik lainnya, saat tanggal 19 Agustus 2008 itu, Pak Oemar seperti memiliki nadar. Sambil bercerita mengenai pergaulannya yang luas dengan tokoh-tokoh akademisi dunia yang meminati budaya Jawa, beliau sempat mengatakan minat untuk mengajak saya ke Bali. Tentu saja bila kesehatan beliau memungkinkan.

Saat itu kepada saya sempat beliau tunjukkan dua botol berisi tablet atau kapsul obat kiriman sahabat-sahabat Pak Oemar dari manca negara. Ketika saya memperhatikan salah satunya, yaitu botol berisi aspirin (“bagus untuk menahan rasa nyeri, juga mencegah serangan jantung”), Pak Oemar malah menyuruh saya untuk mengambil beberapa. “Kalau ada obat yang saya miliki dan cocok, silakan Mas Bambang ambil di sini,” tutur Pak Oemar. Terima kasih, Pak Oemar.

Kembali ke kisah Pak Oemar tentang Bali tadi. Konon dalam pesta budaya tingkat dunia itu, tepatnya acara World Music Workshop in Bali, kita nanti akan ketemu antara lain dengan Dr. Robert E. Brown dari San Diego State University (AS) sampai Dr. Lewis Peterman, ahli musik Eropa dan pemain sitar Cina. “Nanti saya naik kapal terbang, Mas Bambang bisa naik bis. Di Bali nanti bersama saya, penginapan sampai akomodasi akan ditanggung panitia,” tutur Pak Oemar. Terima kasih, Pak Oemar.

Begitulah, berkat cerita Pak Oemar itu pula, akhirnya saya memang bisa “ketemu” dengan beliau-beliau para bule profesor itu. Bahkan juga dengan tokoh dalang bule, murid Pak Oemar lainnya, Matthew Isaac Cohen dari Inggris. Beliau yang terakhir ini adalah dosen senior di Royal Holloway, University London. Bahkan masih punya punya hubungan famili dengan Pak Oemar. Matthew yang memperistri kerabat jauh Pak Oemar itu akan memanggil om untuk Pak Oemartopo.

Nama-nama bule itu bisa saya temui Rabu, 5 November 2008. Sekitar jam 10-an. Sebelumnya, di pagi hari, ketika saya sedang berwudlu di pancuran depan rumah untuk sembahyang Subuh, terdengar bunyi kentongan menyobek keheningan pagi. Biasanya dipukul oleh Pak Kariman. Itu tanda ada warga Kajen yang meninggal dunia. Siapa ?

Innalillahi wainnaillaihi roji’un.
Bapak Oemartopo telah dipanggil Sang Khalik.
Tutup usia, 72 tahun.

Ketika Kajen dilanda sedih, yang bisa saya kerjakan saat itu adalah : menulis kenangan terakhir saat saya bertemu Pak Oemar. Sebelumnya saya mengambil selebaran berita duka ke rumah beliau. Selesai menuliskannya, saya bergegas ke Warnet JetixNet, di sebelah timur Stasiun Kereta Api Wonogiri. Untuk memajang tulisan dan foto beliau di blog Kajenku, Kampungku, Kebanggaanku. Untuk mewartakan kepada dunia bahwa sekarang ini warga Kajen, warga Wonogiri, dan keluarga besar Bapak Oemartopo sedang dilanda duka.

Ketika saya kembalinya melewati tengah Pasar Wonogiri, terdengar dialog ini. “Dari mana bu,” sapa seseorang penjaga kios di pasar. “Dari layat,” jawab ibu yang ditanya. Langsung saja yang bertanya tadi malah menjelaskan kepada dirinya sendiri, “Oh iya, layat Pak Oemartopo.” Berita duka itu sudah sampai dimana-mana pagi itu di Wonogiri. Saya ingin mewartakannya juga kepada dunia.


Melanjutkan langkah Pak Oemar. Para bule sahabat Pak Oemar di atas tadi, yang mencerminkan Pak Oemar sebagai warga kosmopolitan, warga dunia, saya temukan lewat mesin pencari Google (www.google.com) di Internet. Dengan mengetikkan kata “Oemartopo” akan tersaji beragam catatan jejak beliau sebagai budayawan kelas dunia semasa hidupnya. Jejak beliau di Google itu semoga akan abadi.

Sebagai tetangga sebelah pagar, yang kebetulan menekuni aktivitas sebagai blogger, saya hanya mampu menambah sedikit data tentang beliau yang sudah kaya itu. Dengan menuliskannya di blog itu pula. Yaitu cerita-cerita ringan yang saya ingat, yang bisa saya catat dan saya tuliskan. Termasuk mendokumentasikannya dalam bentuk CD (cakram padat) ini. Semoga ikhtiar kecil ini merupakan langkah awal. Sebuah rintisan dan sekaligus ajakan.

Semoga, harapan besar saya lainnya, catatan tentang beliau tidak lalu terhenti. Untuk maksud itu telah saya luncurkan pula blog baru, sebagai rintisan guna mendokumentasikan jejak-jejak perbuatan baik dan prestasi Pak Oemar di masa lalu. Agar semakin diketahui oleh dunia.

Blog itu bernama Petruk Dadi Ratu. Alamatnya di Internet : http://petrukdadiratu.blogspot.com. Judul itu saya pilih setelah membaca cerita dari murid Pak Oemar, Matthew Isaac Cohen asal Inggris, yang pada tahun 1989 khusus ingin belajar mendalang dari Pak Oemar dengan lakon jenaka dan sarat kritikan sosial tersebut. Email khusus untuk blog tersebut : petrukdadiratu2008@gmail.com.

Siapa tahu, baik istri sampai anak, menantu dan cucu, mulai dari Ibu Sunarni, Ibu Sri Suyamti, Ut Pholowati, Moch Subhan Kenedi, Puguh Aldoko Putro, Rita Subekti, Aldoko Dwi Rodo Punggung, serta para cucu yaitu Kentari, Ibel, Rehan dan Rara, sudi menuliskan dan memajang kenangannya tentang almarhum Pak Oemar. Lalu dipajang di blog, untuk dibagikan kepada dunia. Terbuka juga untuk kerabat lain, para handai taulan, juga murid-murid beliau.


Selamat jalan, Pak Oemar. Isi obrolan Pak Oemar dengan saya tentang niatan pergi bersama-sama ke Bali, memang akhirnya tidak kesampaian. Manusia berencana, Tuhan menentukan. Walau pun demikian, ajakan beliau itu akan tetap saya kenang sebagai kado indah, karena bertabur niat dan kebaikan hati beliau kepada diri saya.

Dari catatan di Internet tentang Pak Oemar, saya temukan kemudian hal yang menyentuh terkait pemakamannya. Dalam catatan Dr. Robert E. Brown, acara World Music Workshop in Bali 2005, yang juga diikuti oleh Pak Oemar, dilangsungkan di tempat yang disebut sebagai Flower Mountain, gunung bunga. Tepatnya di Payangan, Bali.

Tiga tahun kemudian, di Rabu siang, 5 November 2008, saya mampu ikut barisan panjang dalam hening dan berselimutkan duka, mengantar Pak Oemar menuju flower mountain itu. Bukan di Bali, tetapi di Kajen, Wonogiri. Karena di atas pusara almarhum telah ditebarkan bunga, bunga dan bunga, oleh keluarga besar dan handai taulan yang mencintai beliau, sehingga akhirnya menggunung menyerupai gunung bunga.

Semoga dari simbol gunung bunga mawar itu, di antara suasana duka, juga doa dan lantunan tanda keikhlasan dari para istri, anak, menantu, cucu dan keluarga besar Pak Oemar, akan selalu teruar dan terumbar nama harum, nama baik dari jasa-jasa Pak Oemar ketika hidupnya.

Sehingga sosok beliau senantiasa lestari, menghiasi hati dan jiwa mereka-mereka yang masih hidup, yang mengenal beliau, mereka yang telah ikhlas mendoakan beliau untuk tenteram dalam peristirahatan abadi, disisiNya. Sebagai tetangga sebelah pagar, saya ikut mendoakan Pak Oemar.

Selamat jalan, Pak Oemar. Sugeng tindak, Pak Oemar. Semoga Tuhan Yang Maha Besar akan menempatkan Ki Haji Oemartopo selalu di depan kelir milik Gusti Allah yang terindah.



Wonogiri, 5-26/11/2008


Biodata penulis. Bambang Haryanto adalah seorang blogger, penulis bebas, inkubator gagasan kreatif dan intellectual hedonist. Lahir di Solo, 24 Agustus 1953. Anak pertama dari keluarga Kastanto Hendrowiharso (Purnawirawan TNI/AD) dan Sukarni (wiraswastawan). Berdomisili di Kajen Timur, Wonogiri.

Menulis beragam artikel sejak tahun 1977 dengan topik teknologi informasi, sepakbola sampai komedi. Artikelnya terakhir dimuat di harian Kompas, 8 September 2007, berjudul “Sepakbola : Cermin Korup dan Ambivalensi Kita.”

Menulis buku kumpulan humor Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987), Bom Tawa Antar Bangsa (USA, 1987) dan Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati : Kesaksian Seorang Suporter Pasoepati (2004, belum diterbitkan).Memenangi lomba Honda The Power of Dreams Contest 2002 (PT Honda Prospect Motor) dengan esai impian berjudul, “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif”. Kemudian profil dirinya sebagai suporter sepakbola ditayangkan dalam acara “The Power of Dreams 2002 Documentary” di TransTV (29/6/2002).

Pada tahun 2004 dengan perannya sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia (EI) yang mengusung resolusi untuk membangun lebih dari seratus blog untuk komunitas EI telah memenangi Mandom Resolution Award 2004 (PT Mandom Indonesia Tbk, Jakarta). Tesisnya mengenai manfaat blog untuk pemberdayaan komunitas kaum epistoholik atau pencandu penulisan surat pembaca sebagai salah satu pilar penegakan demokrasi telah memenangkan (http://esaiei.blogspot.com/2004/12/mandom-resolution-award-2004-1.htm) award tersebut.

Tercatat pertama kali di MURI tahun 2000 sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli. Prestasi MURI-nya yang kedua diperoleh pada tanggal 27 Januari 2005 sebagai pencetus komunitas Epistoholik Indonesia yang sekaligus mendeklarasikan tanggal tersebut sebagai Hari Epistoholik Nasional.

Sebagai blogger ia baru saja menjadi pembicara dalam acara Jagongan Blogger a la Solo, acara yang ia gagas bersama komunitas Pasarsolo.com di gerai Speedy Hik, Solo Grand Mall Solo, 23 November 2008. Profilnya telah ditulis di pelbagai blog tanah air.

Sebagai blogger ia mengelola beberapa situs blog di Internet meliputi : Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com) dan pengalaman pribadinya sebagai seorang epistoholik pada blog Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com). Blog ini baru saja diundang untuk tercatat di Blogged.com (http://www.blogged.com/blogs/esai-epistoholica.html/) yang bermarkas di Alhambra, California, Amerika Serikat.

Kegemarannya terhadap lagu-lagu kelompok musik softrock AS, Carpenters, ia pajang pada blog Close To You (http://undagi.blogspot.com), gagasannya seputar dunia komedi pada blog Komedikus Erektus ! (http://komedian.blogspot.com), topik terkait sepakbola dan dunia suporter pada blog Suporter Indonesia (http://suporter.blogspot.com), riwayat hidupnya sebagai warga Wonogiri pada blog The Morning Walker (http://wonogirinews24.blogspot.com ), dan blog seluk beluk peristiwa di Wonogiri pada Wonogiri World News (http://wonogirinews.blogspot.com ) dan kampungnya di Kajenku, Kampungku, Kebanggaanku (http://kajenku.blogspot.com). Blog keluarga besarnya di blog Trah Martowirono (http://trah.blogspot.com). Milis komunitas EI adalah : epistoholik-indonesia@yahoogroups.com .

Ia menempuh pendidikan di Jurusan Mesin pada Fakultas Keguruan Teknik UNS (1979) dan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1984).


Alamat Bambang Haryanto :

Jl. Semangka II/17, Rt. 01/RW XI, Giripurwo, Wonogiri 57612.
Email : humorliner (at) yahoo.com
HP : +6281329306300.

Tidak ada komentar: